Kau dan aku pernah bahagia. Ingatkah kau dulu saat
kau memutuskan untuk memilihku? Ingatkah dulu bagaimana caramu untuk menarik
perhatianku? Ingatkah dulu waktu-waktu yang kita habiskan bersama? Bersiap
dengan segala kemungkinan, kau dan aku memutuskan untuk bersama. Berjuang
meraih mimpi masing-masing dengan tangan bertautan. Kau dan aku, berusaha mengejar
impian.
Dulu kamu selalu menjadi kekuatanku. Menyemangati
kala ku lelah. Hanya dengan melihat senyummu, aku merasa tenang. Kau selalu menemani
kala ku merasa tak berdaya. Dengan adanya kamu di sampingku, segalanya terasa
jauh lebih baik. Dan kamu tak pernah lelah, tak pernah bosan berusaha menghiburku
dengan segala cara.
Tapi mendadak semua yang pernah kita lewati bersama
berbalik menjadi menyakitkan. Kamu memutuskan untuk pergi. Padahal kamu tau
betapa aku membenci kata itu. Padahal kamu tau betapa aku selalu menghindari
adanya perpisahan. Tapi kamu tetap dengan pendirianmu. Pendirian yang tak mampu
digoyahkan.
Rasanya salah
saat kamu memutuskan untuk pergi. Ada yang terenggut dalam diriku. Hampa yang
menyeruak dengan tiba-tiba. Kekhawatiran yang mengusik pikiranku. Kegelisahan
yang mengurungku. Tak ada lagi kekuatan
untuk menopang diri sendiri.
Aku, jatuh.
Dan kamu tetap bediri tegak.
Memutuskan untuk mengejar mimpi tanpaku.
Mimpi
kita berbeda arah. Ujarmu saat itu. Aku tak mau mengganggu mimipimu, seperti aku tak mau mimpiku berhenti
begitu saja di tengah jalan, lanjutmu tegas. Aku tau, suatu waktu kamu
pasti akan memilih antara aku atau
mimpimu. Aku tak pernah ingin menjadi makhluk egois yang mengganggu mimpimu.
Meski aku meyakini bahwa jika aku tetap bersamamu dan mimpimu akan tetap
terwujud, kamu tak pernah meyakininya.
Entah kamu yang terlalu meragu atau atau aku yang terlalu yakin.
Padahal ku kira aku memberi efek yang sama seperti
kamu memberi efek padaku. Ku pikir aku menjadi sumber kekuatanmu. Ku pikir aku
adalah kebahagiaanmu. Ku pikir aku dan kamu akan tersenyum sambil bergandengan
tangan saat mimpi-mimpi itu kian dekat untuk diraih. Ku pikir aku adalah yang
terpenting bagimu. Dan sekarang, aku tau bahwa aku salah. Bahwa yang ku
pikirkan tidak selalu seperti kenyataan yang terjadi.
Dan aku bahkan belum menjadi prioritasmu.
Maka,
aku melepaskanmu.
.
.
.
.
Meski itu artinya menghancurkanku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar