Sabtu, 15 Januari 2022

Aftertaste 'Penyalin Cahaya': Capek

Durasi yang panjang, cerita Sur yang berusaha mencari keadilan, penggambaran dominasi pelaku, reaksi penanganan pelaporan, semuanya cuma ngasih capek.

Sur sebagai korban digambarkan berusaha mencari jawaban tentang apa yang terjadi pada dirinya. Kesana kemari, usaha sendiri, nanya semua orang, menelusuri malam kejadian, gaada yang dampingin dan dukung. Gimana perasaan Sur? Gaada yang tau. Apa yang bikin Sur terus maju tanpa berhenti sejenak dan merasakan sebuah emosi? Gaada yang tau.
Film ini ngasih gambaran paling realistis tentang gimana busuknya sistem penanganan pelaporan pelecehan seksual, apalagi kalo pelaku punya semua privilege yang bikin dia gabisa tersentuh. Film ini nunjukin sejelas-jelasnya, kemana keberpihakan hukum yang ada tentang pelecehan seksual - dan jelas bukan ke korban. Film ini juga motret gimana pembungkaman yang berusaha dilakukan oleh instansi, semua jawaban adalah cara kekeluargaan untuk menjaga nama baik.
Sayangnya, ruang untuk korban bisa menunjukkan perasaannya, sangat sedikit dimunculkan. Sur digambarkan hanya sedang mencari keadilan, bukan sebagai indvidu yang punya kehidupan. Sur seolah lepas dari dirinya selain untuk mengisi peran sebagai korban.
Sur = korban, bukan individu yang punya beragam peran, perasaan, atau sekadar menertawai suatu hal. Sur hanya hidup sebagai korban. Ditindas, dilukai, berjuang sendiri.
Capek.


Penggambaran korban yang mencari pelakunya sendiri?pertanyaan yang masih belum bisa terjawab.


Kontroversi yang datang bersama film ini, ironi. Komentar tentang film ini yang tidak bisa melepaskan tentang gimana pembuat film ini terlibat di dalamnya dan bisa dilihat sebagai sudut pandang yang harus diperhatikan : https://twitter.com/thepoemzone/status/1481822737786097667?t=jBmWu4f-ZjtdkxICF0t6Zg&s=19 (Penting untuk dibaca:)