Jumat, 18 Februari 2022

Perfilman sebagai Sebuah Sistem di Indonesia: Regulasi, Produksi, Distribusi

 Perfilman sebagai Sebuah Sistem di Indonesia: Regulasi, Produksi, Distribusi

Unsur sistem termasuk diantaranya yaitu memiliki visi-misi atau tujuan, beradaptasi, serta saling berintegrasi antara fungsi dengan struktur itu sendiri. Film dan perfilman, pada dasarnya merupakan suatu bagian dari sebuah sistem yaitu industri perfilman. Sebagai bagian dari sistem, maka apa yang terjadi pada salah satu unsur atau sub sistemnya maka akan mempengaruhi jalannya suatu sistem secara keseluruhan yang termasuk ke dalam teori sturktural fungsional.

 

Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2009, film didefinisikan sebagai karya seni budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat dipertunjukkan. Sementara perfilman sendiri berarti segala hal yang berhubungan dengan film itu sendiri. Film juga bisa dikatakan sebagai salah satu media massa yang menghasilkan budaya populer secara masif (dalam Elsha, D. D, 20117).

 

Berbagai macam genre turut hadir di dunia perfilman, tak terkecuali di Indonesia. Salah satunya yaitu komedi. Perkembangan film dengan genre ini telah berkembang di Indonesia sejak 1950-an (dalam Chaniago, 2017). Sementara untuk genre film yang lain yaitu horor, Indonesia juga banyak memproduksinya dan merupakan salah satu genre paling potensial. Ada beberapa film yang disebut sebagai film horor Indonesia pertama diantaranya yaitu Tengkorak Hidoep (1941) karya Tan Tjoei Hock dan Lisa karya M. Shariefuddin (dalam Chaniago, 2017). Meskipun begitu, genre horor merupkan salah satu genre yang paling bisa dikembangkan dan digali dalam menerapkan teknis produksi pembuatan suatu film.

 

Dengan kemampuannya mempengaruhi dan menginformasi khalayak, film bisa menjadi sarana dalam menyebarkan kebudayaan itu sendiri. Salah satu negara yang berhasil melakukannya adalah India dengan Bollywood. Film-film India banyak masuk ke berbagai negara dimana kebanyakan film India bertemakan apa yang ada di kehidupan sehari-hari masyarakat India sehingga masyarakat pun menerimanya. Negara turut serta terlibat di dalamnya. Ini ditunjukkan dengan rata-rata jumlah produksi film India yang berjumlah >1000 setiap tahunnya. Jika dibanidngkan dengan Indonesia yang hanya mampu memproduksi maksimal 100 fim per tahun, menujukkan bahwa perbedaan prioritas terjadi.

 

Indonesia yang memiliki potensi massa justru tidak memaksimalkannya. Dengan kemiripan jumlah penduduk dan status yang sama sebagai negara berkembang, India dan Indonesia mengimplementasikan perbedaan sikap dalam melihat film sebagai suatu komoditas. Film di Indonesia seringkali hanya dianggap sebagai hiburan semata, serta memiliki nilai seni yang kecil. Aturan yang diatur pemerintah pun tidak diterapkan secara baik oleh pihak-pihak terkait. Selain itu, aturan yang ada belum mengatur secara jelas mengenai peran pemerintah dalam membantu mengembangkan industri perfilman.

 

Regulasi: UU Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman

Berdasarkan UU tersebut, film memiliki tujuan dimana beberapa diantaranya adalah terbinanya akhlak mulia, berkembangnya dan lestarinya nilai budaya bangsa, serta dikenalnya budaya bangsa di dunia internasional. Dengan banyaknya variasi kreativitas dan topik yang dmunculkan, tujuan dari film seperti yang dicantumkan dalam UU tersebut terlalu “berat”. Kebanyakan yang terjadi di Indonesia adalah film-film yang “baik” justru malah tidak mendapat jumlah penonton yang sama baiknya. Contohnya pada tahun ini sendiri yaitu terjadi pada film Kucumbu Tubuh Indahku yang baru saja memenangkan Festival Film Indonesia tahun ini.

 

Pada awalnya, film tersebut mendapat kecaman karena mengangkat tema yang tidak umum di Indonesia, yaitu tentang seorang laki-laki yang sebagai penari. Karena ketidakumumannya, pandangan orang terhadap film ini pun menjadi “aneh”. Padahal sejatinya hal-hal yang diangkat justru hal yang nyata meskipun memang tidak umum terjadi. Tujuan terbinanya akhlak mulia digunakan oleh sekelompok orang yang tidak peka terhadap budaya yang ada, dan menggunakan kuasa sebagai kelompok dominan untuk menolak film ini. Artinya, tujuan film tersebut untuk menginformasikan dan menunjukkan nilai budaya justru berbalik menjadi serangan bagi kreativitas dan fakta yang ada.

 

Untuk tujuan film dalam bagian berkembang dan lestarinya budaya bangsa, tingkat produksi film di Indonesia saja tidak mencukupi. Terlebih, kebanyakan genre yang beredar di masyarakat dan dikonsumsi oleh banyak orang yaitu bukan merupakan genre yang menonjolkan nilai budaya. Film Marlina Pembunuh dalam Empat Babak yang menunjukkan budaya di Sumba justru tidak mendapat jumlah penonton yang maksimal. Dalam 10 film terlaris sepanjang tahun, genre terkait budaya di Indonesia justru tidak termasuk dalam daftarnya. Hal ini juga diperkuat dengan tidak adanya genre tersebut yang diproduksi di Indonesia.

 

Tujuan paling sulit yang harus dicapai oleh film itu sendiri yaitu dikenalnya budaya bangsa di dunia internasional. Dengan kualitas yang masih kalah jauh dengan film lain - bahkan dari India - kesulitan untuk menembus dunia masih menjadi masalah. Ketiadaan peran pemerintah dalam mendukung perfilman pun turut menjadi kendala.

 

https://www.freepik.com/free-psd/cinema-time-with-3d-glasses-popcorn_7150453.htm#query=film&position=26&from_view=search

Produksi Film di Indonesia

Salah satu sutradara kondang di Indonesia, Joko Anwar, pernah menyatakan bahwa tenaga kerja perfilman di Indonesia masih sangat kurang. Hal ini turut mempengaruhi jumlah film yang diproduksi. Kesesuaian jadwal juga turut menjadi kendala karena pembuatan film membutuhkan waktu yang panjang dari pra-produksi hingga film tersebut tayang.

 

Kekurangan sumber daya manusia ini menjadi masalah serius jika pengembangan film ingin ditingkatkan. Keterbatasan ini, sejatinya justru menghambat karena proses kreatif tidak bisa dimulai, dimana insan perfilman yang terlibat sangat banyak (jika sesuai UU, maka jumlah pelaku film yang terlibat bisa lebih dari 20 pihak). Keterbatasan sumber daya manusia ini juga turut berpengaruh dalam kualitas yang dihasilkan karena pengembangan kualitas kurang diutamakan.

 

Proses produksi film yang membutuhkan waktu juga turut menjadi kendala. Dengan proses kreatif sejak dari penyusunan naskah hingga akhirnya tayang dengan teknologi yang terbatas, maka proses produksi film ada yang sampai bertahun-tahun hingga film tersebut ditayangkan. Selain itu, kepentingan riset terkait tema film perlu ditingkatkan pula untuk memunculkan hasil yang paling realistis.

 

Pemilihan bintang atau artis sebagai tokoh utama juga mempengaruhi bagaimana suatu film akan diterima atau tidak oleh pasar. Artinya, jika seorang tokoh sudah bisa menghasilkan banyak penonton, maka tidak menutup kemungkinan bahwa artis tersebut akan sering muncul di film-film yang sejenis. Ini bisa menjadi salah satu pertanda bahwa perkembangan yang stuck di satu tempat juga dialami oleh aktor sebagai salah satu unsur yang terlibat dalam perfilman.

 

Strategi Pemasaran dan Distribusi Film

Film-film Indonesia yang ditayangkan berbarengan atau berdekatan dengan film Hollywood mendapat porsi lebih sedikit di layar bioskop. Contohnya saat ini, dimana film Jumanji: The Next Level sedang tayang bersamaan dengan film Eggnoid dari PH Visinema, jumlahnya sangat bertolak belakang. Bahkan dengan jumlah layar seluruh film Indonesia yang sedang tayang dibandingkan dengan film Jumanji, jumlah jam tayang film Jumanji masih menang (di Malang, dari bioskop Movimax (16 vs 3), XXI (38 vs 0), dan Cinepolis (8 vs 1)), dengan jumlah jam tayang Jumanji sampai (10/12) adalah sebanyak 62 jam tayang, sementara jumlah jam tayang film Indonesia dijumlahkan hanya tersisa 4 jam tayang.

 

Dengan “jatah” yang diberikan hanya tidak sampai 1/10nya, distribusi film Indonesia sendiri sudah sangat terhambat. Hal ini pun selalu terjadi dan tidak pernah ada penyelesaiannya dari tahun ke tahun. Pemerintah sebagai lembaga yang membuat aturan tidak benari-benar melihat di lapangan bagaimana jika bertentangan dengan aturan Pasal 32 yang berbunyi Pelaku usaha pertunjukan film sebagaimana dimaksud pada pasal 29 ayat (3) wajib mempertunjukkan film Indonesia sekurang-kurangnya 60% (enam puluh persen) dari seluruh jam pertunjukan film yang dimilikinya selama 6 (enam) bulan berturut-turut. Aturan ini memberi acuan untuk mengutamakan film Indonesia, namun justru tidak terlaksana. Ketidakterlaksanaan ini juga tidak ditindak dengan tegas sehingga pemasarana film Indonesia tidak menjangkau ke seluruh daerah jika dibandingkan dengan film-film Hollywood.

 

Penutup

Dengan segala unsur yang terlibat dalam industri perfilman, semuanya saling mempengaruhi satu sama lain. Regulasi yang kurang kuat dalam mendukung perkembangan dan pengglobalisasian hasil produksi film Indonesia, turut mempengaruhi bagaimana film Indonesia dipandang. Bahkan masyarakat kita sendiri cenderung memilih untuk menonton film Hollywood daripada film produksi lokal. Terbukti pada minggu ke-49 di tahun ini, jumlah penonton Indonesia yang menonton film Indonesia hanya berjumlah 306.171 - jumlah yang berbanding terbalik dengan total penonton dari film Jumanji saja (di Indonesia sejak tayang sudah hampir 2 juta penonton) (dilansir dari @bicaraboxoffice di twitter).

 

Dalam seluruh proses pembuatan film, sistem bekerja selama proses tersebut juga berjalan. Ekosistem yang baik akan tumbuh apabila seluruh pihak bekerjasama untuk mencapainya. Semua yang terlibat di baliknya juga harus mendukung dan mengupayakan pemerintah untuk melihat bahwa film bisa menjadi branding negara yang potensial. Kesadaran masyarakat juga perlu ditingkatkan oleh seluruh aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, dengan menyajikan kualitas film yang mampu menyaingi film luar. Negara India bisa dijadikan contoh untuk menumbuhkan ekosistem yang baik dalam perfilman, terlebih dalam upaya pemerintah memberi dan membuka jalan untuk memasarkannya. Selama seluruh unsur yang terlibat dalam industri perfilman memiliki tujuan yang sama untuk mengembangkan perfilman Indonesia ini sendiri, tidak menutup kemungkinan bahwa kemajuan perfilman bukan hal yang mustahil lagi - seperti yang dikatakan Durkheim: organ-organ bekerjasama dengan baik dan menjadi tumpuan untuk menjaga eksistensi dan kesehatannya (Pip, Liz, & Shaun, 2006).


(Tulisan ini dibuat pada 2019)

DAFTAR PUSTAKA

 

Chaniago, R. H. (2017). Analisis Perkembangan Film Komedi Indonesia. Journal of Communiacation (Nyimak), 1 (2), h. 189-195.

Elsha, D. D. (2017). Menengok Kelemahan Perfilman Indonesia. Jurnal Ilmu Komunikasi, 2 (2), h. 230-250.

Pip, J., Liz, B., & Shaun, L. B. (2016). Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Rusdiarti, S. R. (2010). Film Horor Indonesia: Dinamika Genre. Makalah. Jakarta: Program Studi FIB Universitas Indonesia.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2009 tentang Perfilman.